Lampu Hijau Produksi Nikel untuk Baterai Kendaraan Listrik
Kendaraan bermotor dianggap sebagai sumber polusi udara utama di perkotaan. Mengatasi persoalan ini, industri dan pemerintah beberapa negara Eropa dan Tiongkok tawarkan peralihan ke kendaraan listrik: menghentikan penjualan kendaraan bahan bakar fosil tahun 2030-2040. Pemerintah Indonesia pun merencanakan agar ibu kota baru menggunakan kendaraan listrik.
Kendaraan listrik punya satu komponen penting, yakni baterai yang berdaya simpan tinggi akan energi listrik untuk mencapai kemampuan jarak tempuh kompetitif dibandingkan kendaraan bahan bakar fosil. Nikel salah satu bahan baku penting, bahkan volumenya memiliki persentase terbanyak dalam tiap unit baterai kendaraan listrik. Nikel juga lebih murah dibandingkan cobalt—yang dihasilkan Kongo sebagai produsen utama saat ini. Baterai kendaraan listrik kian banyak digunakan jenis NMC 811, singkatan Nickel, Manganese, Cobalt dengan perbandingan berat 8:1:1. Persentase nikel adalah yang terbanyak.
Sebelumnya bijih nikel kadar rendah (limonite) dibiarkan tertinggal di daerah tambang tak direhabilitasi. Kini, teknologi proses HPAL (High Pressure Acid Leach) dinilai bisa diterapkan secara ekonomis mengolah nikel kadar rendah menjadi baterai kendaraan listrik.
Saat ini di Maluku utara, industri bahan baku baterai mobil listrik pertama yang tengah dibangun tepatnya di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel).
Industri yang sedang dibangun Harita Nickel itu, direncanakan mulai berproduksi pada akhir 2020. Kepala Dinas Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Hasyim Daeng Barang mengatakan teknologi pengolahan dan pemurnian mineral dengan proses hidrometalurgi akan sangat menguntungkan dalam konservasi sumber daya alam, khususnya nikel.
Selama ini, smelter yang ada di Indonesia menyerap nikel kadar tinggi 1,7 ke atas. Sedangkan proses hidrometalurgi yang dikembangkan oleh Harita di Obi, menggunakan nikel kadar rendah di bawah 1,7
-Sumber: Kumparan