Harita Nickel Sukses Terapkan Teknologi HPAL dalam Industri Baterai Kendaraan Listrik di Indonesia
JAKARTA, NUANSA – Indonesia sukses memproduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat, bahan baku baterai kendaraan listrik (electrical vehicle/EV). Kesuksesan ini tak lepas dari pencapaian PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel), perusahaan pertambangan dan pemrosesan nikel terintegrasi berkelanjutan di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Harita Nickel sukses menerapkan teknologi high pressure acid leaching (HPAL) yang pertama kali di Indonesia untuk memproduksi bahan baku baterai mobil listrik. Permintaan nikel sulfat sebagai bahan baku prekursor katoda baterai mobil listrik sendiri saat ini kian meningkat. Pasalnya, industri otomotif mulai bergeser ke tren mobil listrik yang dinilai lebih ramah lingkungan dan mendukung energi terbarukan.
Teknologi HPAL untuk memproduksi nikel sulfat dan kobalt sulfat mulai digunakan di Indonesia sejak 2023. Lewat teknologi ini, Indonesia mampu meningkatkan nilai tambah (added value) bijih nikel berkadar rendah, yakni limonit yang awalnya tak dapat dimanfaatkan (overburden) kini dapat diolah menjadi produk turunan nikel yang bernilai ekonomis.
Teknologi HPAL sendiri telah dipakai di banyak negara, seperti China, Filipina, dan Kuba. Namun, ada juga yang gagal menerapkan teknologi hidrometalurgi yang cukup rumit ini.
Sementara di Indonesia, beberapa pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel mencoba menerapkan teknologi HPAL sejak beberapa tahun lalu belum berhasil sampai saat ini. Harita Nickel menjadi perusahaan pemrosesan nikel yang berhasil menerapkan HPAL pertama kali di Indonesia.
Keberhasilan Harita Nickel menerapkan teknologi HPAL lewat pabrik pengolahan nikel, PT Halmahera Persada Lygend (HPL), sebagai bagian dari Harita Nickel, pada 2021. Saat itu, baru berupa mixed hydroxide precipitate (MHP).
Pabrik HPAL Harita Nickel pun memproduksi turunan MHP untuk bahan baku baterai mobil listrik sejak 2023, yakni nikel sulfat dan kobalt sulfat. Nikel sulfat bakal jadi bahan prekursor katoda baterai litium, sementara kobalt sulfat jadi material katoda baterai litium.
Deputy Department Head of Nickel Sulphate and Acid Plant Harita Nickel, Roy Martua Sigiro, mengatakan penerapan teknologi HPAL memberi manfaat yang besar karena mampu mengubah nikel kadar rendah (limonit) menjadi lebih bernilai.
“Teknologi HPAL atau High Pressure Acid Leaching adalah teknologi pemurnian nikel kadar rendah ataupun yang sering kita sebut sebagai limonit yang selama ini belum pernah diolah. Selama ini hanya dibuang menjadi overburden dan yang diolah hanyalah nikel kadar tinggi atau pun saprolit,” jelas Roy.
“Dengan hadirnya teknologi HPAL ini, kita dapat mengolah limonit menjadi MHP ataupun mixed hydroxide precipitate, nikel sulfat, dan kobalt sulfat,” imbuhnya.
Singkatnya, proses produksi diawali dengan tahap persiapan yakni mencairkan bijih nikel kadar rendah yang tadinya berbentuk tanah. Bahan lalu dimasukkan ke tahap high pressure acid leaching menggunakan asam sulfat dan steam (uap bertemperatur tinggi).
Roy menjelaskan, pada tahap ini, produk masuk ke dalam tabung bernama autoclave. Setelah itu, nikel masuk ke tahap netralisasi dan sejumlah proses lainnya dengan tujuan untuk membuang bahan-bahan yang tidak diperlukan.
“Dan setelah melalui proses MHP kita akan melalui proses yang namanya solvent extraction untuk menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat. Kemudian larutan nikel sulfat dan kobalt sulfat akan kita proses kembali menggunakan proses kristalisasi sehingga mendapatkan kristal nikel sulfat dan kobalt sulfat seperti yang sudah kita lihat,” paparnya.
Kristal nikel sulfat dan kobalt sulfat yang dihasilkan akan dijual sesuai ukuran. Namun masih ada sejumlah tahapan lagi sebelum nikel sulfat bertransformasi menjadi baterai listrik.
“Setelah dari kobalt sulfat dan nikel sulfat akan menuju ke prekursor baterai, setelah itu katoda baterai. Jadi kalau bisa saya bilang produk yang dihasilkan Harita Nickel sudah di setengah jalan untuk mencapai baterai listrik,” terang Roy.
Sementara, Head of Technical Support Harita Nickel, Rico Windy Albert mengatakan, bijih nikel pertama kali melewati tahap penyaringan kasar dan halus untuk memisahkan material besar seperti batu dan kayu, serta objek asing lainnya. Bijih yang sudah disaring kemudian dibersihkan dengan air. Atau proses secara singkat, dijelaskan oleh Nico, dimulai dari tahap Ore Preparation, Grinding Station, Pemanasan dan Leasing, pengendapan, penyesuaian kadar keasaman, pembentukan MHP, dan pemrosesan MHP.
“Pemrosesan MHP kemudian diproses lebih lanjut, termasuk di dalam mesin press, untuk menghasilkan produk akhir seperti nikel sulfat dan kobalt sulfat yang siap dipasarkan. Setiap tahap dalam proses ini sangat terkoordinasi sehingga menghasilkan produk akhir yang berkualitas,” jelasnya.
Kepala Teknik Tambang PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Harita Nickel), Primus Priyanto mengatakan, pada 2024 ini, direncanakan sekitar 27 juta bijih nikel gabungan kadar tinggi (saprolit) dan kadar rendah (limonit) akan disuplai atau dikirim ke semua pabrik pengolahan pemurnian yang telah beroperasi di Site Obi.
“Total inventori bijih yang dimiliki mencapai sekitar 3,9 juta ton untuk bijih saprolit dan sekitar 15 juta ton untuk bijih limonit. Inventori bijih tersebut berasal dari semua stockpile yang ada di Harita Nickel. Jumlah inventori tersebut mampu memastikan ketersediaan pasokan bijih untuk semua pabrik sampai dengan 5 atau 6 bulan ke depan,” terang Primus.
Bijih nikel limonit akan disuplai ke Pabrik HPAL yang memiliki kapasitas 8,3 juta ton untuk diolah menjadi MHP dan turunannya.
“Ini kapasitas konsumsi bijih nikel limonitnya sekitar 8,3 juta. Dan output-nya berupa MHP atau mixed hydroxide precipitate itu sekitar 365 ribu ton MHP. Di mana kadar nikelnya sekitar 45% dan kadar kobaltnya sekitar 5%,” jabarnya.
Sementara bijih nikel saprolit dikirim ke dua pabrik peleburan dengan metode rotary kiln-electric furnace (RKEF) untuk menjadi feronikel. Total kapasitas dua pabrik peleburan RKEF, yakni Pabrik PT Megah Surya Pertiwi (MSP) Pabrik PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF), mencapai 11 juta ton per tahun.
Nikel merupakan material yang bisa diandalkan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari penggunaan bahan sendok-garpu, alat bedah di rumah sakit, velg mobil, dan tentu saja untuk bahan baterai kendaraan listrik.
Baterai berbasis nikel punya keunggulan mampu menyimpan energi listrik yang lebih besar dan tahan lama. Selain itu, baterai berbasis nikel memiliki ketahanan tinggi terhadap perbedaan iklim.
Hal ini membuat mobil yang menggunakan baterai berbasis nikel cocok bagi pengguna yang sering bepergian jarak jauh maupun berada di daerah dengan suhu ekstrem. Keunggulan ini bikin material nikel sulfat terus jadi incaran sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.
Pada 2019, para peneliti nikel dari Wood Mazkenzie, perusahaan penyedia data dan analisis global untuk transisi energi, menyebut konsumsi nikel sebagai nikel sulfat meningkat sebesar 28 persen atau 162 kiloton. Konsumsi terbesar berasal dari Tiongkok. Pada 2025 mendatang, konsumsi nikel global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik diperkirakan naik jadi 265 kiloton.
Permintaan yang besar untuk industri ini membuat produksi nikel sulfat semakin banyak dilakukan secara global, termasuk Indonesia yang dikenal punya cadangan nikel terbesar di dunia.
Wood Mazkenzie mengungkapkan, produksi nikel kini masih didominasi negara-negara Asia, seperti China, Jepang, Korsel, dan Taiwan. Sementara Indonesia yang ikut memasok produk nikel, jumlah produksinya terus meroket setiap tahun.
Keberhasilan Harita Nickel memproduksi bahan baku baterai mobil listrik dengan teknologi HPAL membuat Indonesia sudah setengah jalan memproduksi baterai mobil listrik secara mandiri. Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia bisa memproduksi mobil listrik sendiri. (tan)
Sumber : Nuansamalut